Industrialisasi Negara Berkembang dan Perdagangan Bebas Dalam Teori, Dalam teori-teori
pembangunan, industrialisasi di negara-negara berkembang mempunyai latar
belakang yang berbeda dengan negara maju. Gagasan industrialisasi di negara
berkembang tersebut dapat ditelusuri dari teori tentang pembagian kerja secara
internasional dimana teori ini pula yang mendasari pentingnya perdagangan bebas
yang merupakan produk pemikiran para ekonom klasik, sehingga sebenarnya antara
industrialisasi dan perdagangan bebas merupakan dua hal yang sangat terkait
secara teoritis. Dalam teori ini dinyatakan tentang pentingnya spesialisasi
produksi setiap negara berdasarkan keunggulan komparatif yang dimilikinya.
Negara-negara berkembang yang memiliki tanah subur sebaiknya melakukan
spesialisasi dalam produksi pertanian. Sementara itu negara-negara di kawasan Utara
yang iklimnya tidak cocok untuk pertanian sebaiknya melakukan kegiatan produksi
di industri. Bila kedua kelompok negara tersebut mengabaikan prinsip keunggulan
komparatif tersebut, maka yang terjadi adalah inefisiensi produksi.
Dengan spesialisasi ini akan
terjadi perdagangan internasional yang saling menguntungkan kedua kelompok
negara tersebut. Negara-negara pertanian dapat membeli barang-barang industri
dengan harga lebih murah. Begitu pula negara-negara industri membeli
hasil-hasil pertaniannya secara lebih murah juga dibandingkan bila memproduksi
sendiri. Teori ini pula yang juga dapat menjadi landasan bagi pentingnya perdagangan
bebas. Setidaknya, Todaro dalam Arif Budiman (1995) menegaskan pentingnya
setiap negara untuk melebur dalam perdagangan internasional atas prinsip
keunggulan komparatif, karena pada dasarnya setiap negara adalah saling
tergantung, dan akan lebih menguntungkan bila negara-negara saling mengisi
kelemahan yang ada.
Namun demikian dalam perkembangannya hubungan
saling ketergantungan tersebut membawa hasil yang berbeda. Negara industri
semakin maju, sedangkan negara berkembang semakin tertinggal. Dalam perdagangan
internasional, negara maju lebih beruntung dari pada negara berkembang.
Fenomena keuntungan yang
bias ke negara industri disoroti oleh Raul Prebisch yang tertuang dalam
karyanya: The Economic Development of
Latin America and Its Principal Problems pada tahun 1950. Ketidakseimbangan
perdagangan internasional antara negara maju dan negara berkembang, menurut
Prebisch, lebih disebabkan oleh adanya penurunan nilai tukar komoditi pertanian
terhadap barang-barang industri. Barang-barang industri lebih mahal dari barang
pertanian, sehingga menyebabkan defisit neraca perdagangan negara-negara
berkembang yang mengandalkan pertanian.
Dalam teori ekonomi sering
dinyatakan bahwa komoditi pertanian bersifat inelastis, khususnya bila dilihat
dari kecenderungan adanya penurunan konsumsi bahan makanan karena meningkatnya
pendapatan. Sebaliknya, meningkatnya pendapatan justru akan meningkatkan
konsumsi terhadap barang-barang industri. Akibatnya, anggaran negara pertanian
yang digunakan untuk mengimpor barang-barang industri dari negara-negara
industri akan semakin meningkat, sedangkan pendapatan dari hasil ekspornya
relatif tetap atau bahkan menurun. Inilah yang menimbulkan defisit neraca
perdagangan.
Adanya proteksi negara
industri atas hasil pertaniannya semakin mempersulit negara berkembang untuk
mengekspor hasil pertaniannya. Kesulitan tersebut sampai saat ini masih terus
berlangsung. Terakhir, negara industri semakin mampu menemukan teknologi baru
pembuat barang-barang sintetik sehingga memperkecil impor bahan mentah
pertanian dari negara berkembang. Selain itu, meningkatnya kekuatan politik
kaum buruh di negara industri juga berpengaruh pada meningkatnya upah. Ini
berimplikasi pada meningkatnya biaya produksi sehingga menyebabkan harga jual
meningkat pula. Sementara harga barang hasil pertanian relatif tetap.
Akibatnya, nilai uang yang diperoleh negara industri dari hasil ekspornya akan
meningkat.
Kenyataan itulah yang
membuat Raul Prebisch salah seorang peletak dasar teori ketergantungan mengeluarkan gagasan pentingnya negara-negara
berkembang untuk melakukan industrialisasi sebagaimana negara maju. Upaya
perintisan Industrialisasi ini dilakukan dengan model industri subtitusi impor
(ISI) sebagai "industri bayi" (infant
industry). Diharapkan industri ini dapat memproduksi barang-barang yang
semula diimpor. Sebagai langkah awal, untuk mengamankan eksistensi industri
bayi dari industri besar di negara maju diperlukan campur tangan pemerintah
melalui proteksi sampai dengan mendewasanya industri bayi tersebut.
Pemikiran Prebisch tentang
ISI "selaras" dengan industrialisasi di negara-negara ASEAN yang
rata-rata dilakukan mulai tahun 1960-an. Akan tetapi ternyata alasan utama
industrialisasi ala Prebisch belum terbukti secara empirik, setidaknya untuk negara-negara
ASEAN. Dalam pandangan Arif dan Hill (1988) terdapat 2 (dua) alasan
negara-negara berkembang, termasuk Indonesia , mempercepat proses industrialisasinya.
Pertama, adalah pandangan umum bahwa
prospek pasar internasional di masa depan bagi produk primer adalah sangat
suram sebagaimana pemikiran Prebisch. Pandangan ini dilatarbelakangi oleh
pengalaman pada tahun 1950-an dimana terjadi kemerosotan harga-harga produk
pertanian setelah mengalami booming
pada Perang Korea
1950-1951.
Namun demikian alasan ini
tidaklah cukup empirik untuk membuktikan merosotnya nilai tukar produk
pertanian (term of trade) sebagai
faktor utama adanya industrialisasi dalam kerangka menepis ketergantungan
negara berkembang terhadap negara maju. Hal ini karena diangap kemerosotan
tersebut hanyalah bagian dari dinamika perdagangan saja, oleh karena itu
industrialisasi lebih didorong oleh keinginan untuk penganekaragaman struktur
ekspor, dimana komoditi pertanian tetap dipertahankan seperti sekarang ini .
Kedua, adanya pandangan bahwa negara-negara maju yang
pendapatannya tinggi memiliki sektor industri yang sangat besar. Jadi,
industrialisasi dipandang sebagai jalan ke arah perkembangan ekonomi yang lebih
maju. Jika diamati, pandangan seperti ini merupakan bagian dari paradigma
modernisasi yang mengarahkan model pembangunan Barat sebagai "kiblat"
bagi negara berkembang. Pandangan kedua ini lebih empirik bila dilihat setting
politik ekonomi internasional waktu itu, dimana negara Barat pasca Marshall
Plan giat memasarkan gagasan modernisasi negara kalah perang serta negara
berkembang sebagai upaya pemulihan akibat Perang Dunia II sekaligus untuk
menangkal komunisme di negara-negara berkembang tersebut.
Dalam perkembangannya,
setiap negara ASEAN berbeda-beda dalam menerapkan ISI, setidaknya ditunjukkan
dari aspek waktu. Filipina tergolong paling lama dalam mempertahankan model ISI
yang dimulai pada tahun 1940-an. Sebaliknya Singapura adalah negara tercepat
dalam mengganti model ISI, karena cepat pula menyadari kelemahan model ISI
tersebut.
ISI memang umumnya menghasilkan pertumbuhan
industri yang sangat cepat, namun tidak dapat menjadi landasan bagi babak
industrialisasi yang berkesinambungan. Arif dan Hill (1988) mengatakan: Setelah
"tahap yang mudah" proses industrialisasi tersebut diselesaikan,
yaitu ketika keluaran (out put) barang manufaktur tumbuh dengan batas-batas
pasar dalam negeri yang kecil dan diproteksi, maka kurun waktu kejenuhan pasar
akan cepat tercapai”.
Dengan demikian , tidak akan
ada "perembesan" (spill over)
otomatis ke pasar ekspor sebagaimana sebelumnya diperkirakan oleh para pembuat
kebijakan. Untuk memudahkan, pemeliharaan pertumbuhan industri yang cepat dan
berkesinambungan di Malaysia, Filipina dan Muangthai sekitar tahun 1970-an dan
di Indonesia sekitar tahun 1980 memerlukan
usaha promosi ekspor yang sungguh-sungguh maupun putaran kedua substitusi impor
dalam kegiatan-kegiatan yang lebih padat modal dan padat ketrampilan.
Bagi Indonesia
strategi promosi ekspor yang dimulai tahun 1980-an lebih banyak
dilatarbelakangi adanya kemorosotan harga minyak yang semula menjadi andalan
utama ekspor. Kelangsungan ISI yang lama tersebut merupakan kajian ekonomi
politik, dimana diduga terkait dengan kuatnya hubungan birokrasi (pemberi
fasilitas proteksi) dengan swasta sebagai penerima fasilitas sekaligus pemberi
rente, sehingga memunculkan kolusi dan korupsi yang masih menggejala hingga
sekarang. Lambatnya kesadaran untuk mengganti strategi industrialisasi
tersebut, jelas mempengaruhi kinerja industrialisasi dewasa ini yang bila dibandingkan
dengan negara-negara ASEAN lainya, khususnya Malaysia, Singapura, dan Thailand,
posisi Indonesia masih relatif berada di bawah mereka.
Dampak industrialisasi
terhadap perkembangan ekonomi tampak semakin signifikan, namun inipun tidak
terlepas dari masalah-masalah yang bersifat struktural. Misalnya,
ketergantungan teknologi (technological
dependency) negara berkembang terhadap negara maju yang akan mempersulit
negara berkembang mengejar ketertinggalan, sebagaimana sering disuarakan Dos
Santos penganut teori ketergantungan.
Begitu pula dalam bantuan modal asing yang dapat mengganggu proses kemandirian
negara berkembang. Yang terakhir ini
bantuan modal belum terbukti mengganggu
kemandirian, setidaknya bila diperhatikan keberanian Indonesia untuk membubarkan IGGI.